“ Bisakah Otsus Selesaikan Konflik Laten di Papua”?
Rabu, 11 Januari 2012
Dari Acara Bedah Buku ke-7 Karya Anthonius Aryobaba (bagian-1)
Sebuah buku karya Anthonius Ayorbaba dengan judul The PAPUA way,
Dinamika Konflik laten dan Reflekasi 10 Tahun Otsus Papua, telah
dilauving Senin (9/1). Bagaimana isi buku tersebut?
Pdt. DR. M.Th. Wawene, MTH dalam acara bedah buku karya Anthonius
Ayorbaba, melontarkan komentar pendeknya atas buku The PAPUA way,
Dinamika Konflik laten dan Reflekasi 10 Tahun Otsus Papua.
Buku setebal 313 halaman itu, setelah dirampungkan dan diulas kembali oleh sta f pengajar STT. I.S Kijne dihadapan undangan dengan suatu kesimpulan yang merujuk dari buku tersebut, bahwa Otsus bukanlah suatu jalan antara atau jalan tengah, antara dua kutub yang berbeda yakni, antara tetap dalam NKRI atau Merdeka, melainkan suatu jalan sementara.
Menurut Pdt. Mawene, jikalau kita memperhatikan wacana Otsus yang berlangsung diantara masyarakat, ternyata sampai sekarang terdapat perbedaan persepsi antara Jakarta dan papua tentang Otsus. Seikit banyaknya perbedaan ini merupakan hasil kontribusi para elit Politik Papua sendiri yang memberi kesan yang keliru tentang alasan dibalik tuntutan “ M” kebanyakan rakyat papua.
Kesan keliru itu adalah bahwa seolah olah faktor penyebab munculnya tuntutan” M” itu adalah ketidak adilan sosial ekonomi dan sebagainya, bahkan ada yang mengaitkannya dengan harapan harapan kargoistik dikalangan masyarakat papua yang tak terpenuhi dalam wadah NKRI.
Ada juga salah persepsi pihak Jakarta dibidang kesamaan derajat dan perlakuan yang sama dalam republik ini. Orang Papua punya pengalaman buruk dalam hal ini, misalnya sesudah masa rendevous 1963-1969 dimana orang Papua mulai mengalami perlakuan dimarginalkan hampir dalam semua proses Politik Pemerintah NKRI. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pejabat pejabat Pemerintahan di papua kebanyakan diduduki pejabat non Papua, karena orang Papua dipandang belum bisa menjadi birokrat Pemerintahan yang baik dan Paham undang undang Negara, hal ini berpuncak pada 1998, ujar Mawene, namun realitas dan kesetaraan ini mulai dipertanyakan setelah PEPERA untuk dibuktikan dalam dalam realitas sosial keseharian. Contoh konkrit yang merujuk pada kesamaan dan kesetaraan orang papua dalam realitas sosial, kata mawene dapat dilihat pada sedikitnya pelamar kewrja asal Papua yang bekerja disektor layanan Publik- Salesnman dan Sale woman di Mall Mall dan pusat perbelanjaan, mengapa demikian, jadi pertanyaan, ungkapnya kepada hadirin di RRI, Senin( 9/1/2012). Penyebabnya persepsi macama macam dari poemilik Mall mall bahwa Karyawan karyawatrinya harus cantik cantik, suapaya menarik pembeli, sementara naka anak Papua dipandang tidak masuk katagori” Cantik” ini, tak heran bila musisi dan penyanyi Frangky Sahilatua( Alm) yang kemudian mengarang lagu” Aku Papua”. Kesan salah yang telah digambarkan diatas, itulah yang tampaknya melatarberlakangi pendapat Jakarta tentang masalah papua, terutama dalam persetujuannya atas Undang Undang No. 21 tentang Otsus, ungkapnya.
Melihat hal ini dalam menterjemahkan isi buku The Papuas WAY, dari sudut pandang yang keliru itu boleh dikatakan OTSUS mencapai kemajuannya yang penting di Papua. Hal ini nampak dari roda perekonomian Papua diera Otsus berputar cepat dan kencang, sebagai indikator yang kasat mata, banyak pusat pusat perbelanjaan Mall mall dibangun di papua, banyak jenis kendaraan seliweran dijalan jalan, uang milyaran rupiah dikucurkan ke Kampung kampung yang tujuannya untuk bangun masyarakat dikampung melalui program Respek, imbasnya pada dunia keagamaan juga, banyak gedung gedung ibadah yang megah dibangun hingga pelosok Papua yang dibarengi dengan tingkat kesejahteraan yang makin membaik, namun demikian apakah rakyat Puas? Katanya bertanya
Pencapaian demikian bukan yang diharapkan dan bukanlah yang terutama, mwelainkan orang Papua minta merdeka, persoalan Politik Papua yang belum terselesaikan hingga tuntas, menurut saya itulah akar persoalan papua sesungguhnya, ungkap Mawene.
Solusinya, dalam buku The Papua Way is the way in history, ungkapnya. Ia menilai Buku karya Anthonius Ayorbaba ini berakhir dengan usulan solusi untuk mencari jalan keluar dari tengah jalan Papua yang berliuku liku dan penuh hambatan, dimana penulis mengusulkan tiga solusi utama dihalaman 278- 284 dan empat solusi minimal( 284- 288), dimana solusi solusi itu bewrtujuan agar Otsus papua sebagai The Papua Way itu berhasil capai tujuannya.
Komentar lain atas buku the papua Way datangnya dari Direktur ICS, Budi Setyanto dalam paparannya saat bedah buku karya Anthonius Ayorbaba yang diawali dengan sebuah pertanyaan, bisakah Konflik di Papua diselesaikan?
Dalam presentasinya ia menyatakan, Bahwa konflik di Papua adalah konflik yang bersifat politis dan struktural (masyarakat Asli Papua versus Negara Indonesia). Akar masalah atau penyebab konflik adalah terkait proses integrasi wilayah Papua ke Indonesia yang tidak/belum diterima oleh Masyarakat Asli Papua. Karena akar masalah konflik adalah masalah politik menyangkut integrasi wilayah maka konflik ini juga menjadi konflik idiologi yang bersifat laten dan dapat menjadi konflik manifest jika ada pemicunya (trigernya).
Terkait dengan masalah-masalah lainya yang terjadi di Papua seperti adanya kebijakan pembangunan yang sentralistis/diskriminatif; kebijakan militer yang represif; kebijakan ekonomi yang eksploitatif dan adanya kebijakan otsus hanyalah sebagai imbas dan adanya konflik dimaksud. Konflik politik struktural seperti ini sulit diselesaikan dan hanya bisa diselesaikan jika salah satu pihak mencapai tujuannya dan/atau kedua belah pihak mencapai kompromi dengan meninggalkan atau mengurangi tujuan yang bersifat idiologis.
Konskwensi adanya konflik politik bersifat struktural ini jika tidak terselesaikan akan memakan korban yang berkelanjutan pada saat konflik laten menjadi konflik manifest Pertanyaanya lanjut Budi : apakah ada niat yang tulus dari Masyarakat Asli Papua dan Pemerintah Indonesia mengakhiri konflik dengan kompromi, ataukah masing-masing pihak lebih senang dengan kondisi pembiaran seperti sekarang.
Buku setebal 313 halaman itu, setelah dirampungkan dan diulas kembali oleh sta f pengajar STT. I.S Kijne dihadapan undangan dengan suatu kesimpulan yang merujuk dari buku tersebut, bahwa Otsus bukanlah suatu jalan antara atau jalan tengah, antara dua kutub yang berbeda yakni, antara tetap dalam NKRI atau Merdeka, melainkan suatu jalan sementara.
Menurut Pdt. Mawene, jikalau kita memperhatikan wacana Otsus yang berlangsung diantara masyarakat, ternyata sampai sekarang terdapat perbedaan persepsi antara Jakarta dan papua tentang Otsus. Seikit banyaknya perbedaan ini merupakan hasil kontribusi para elit Politik Papua sendiri yang memberi kesan yang keliru tentang alasan dibalik tuntutan “ M” kebanyakan rakyat papua.
Kesan keliru itu adalah bahwa seolah olah faktor penyebab munculnya tuntutan” M” itu adalah ketidak adilan sosial ekonomi dan sebagainya, bahkan ada yang mengaitkannya dengan harapan harapan kargoistik dikalangan masyarakat papua yang tak terpenuhi dalam wadah NKRI.
Ada juga salah persepsi pihak Jakarta dibidang kesamaan derajat dan perlakuan yang sama dalam republik ini. Orang Papua punya pengalaman buruk dalam hal ini, misalnya sesudah masa rendevous 1963-1969 dimana orang Papua mulai mengalami perlakuan dimarginalkan hampir dalam semua proses Politik Pemerintah NKRI. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pejabat pejabat Pemerintahan di papua kebanyakan diduduki pejabat non Papua, karena orang Papua dipandang belum bisa menjadi birokrat Pemerintahan yang baik dan Paham undang undang Negara, hal ini berpuncak pada 1998, ujar Mawene, namun realitas dan kesetaraan ini mulai dipertanyakan setelah PEPERA untuk dibuktikan dalam dalam realitas sosial keseharian. Contoh konkrit yang merujuk pada kesamaan dan kesetaraan orang papua dalam realitas sosial, kata mawene dapat dilihat pada sedikitnya pelamar kewrja asal Papua yang bekerja disektor layanan Publik- Salesnman dan Sale woman di Mall Mall dan pusat perbelanjaan, mengapa demikian, jadi pertanyaan, ungkapnya kepada hadirin di RRI, Senin( 9/1/2012). Penyebabnya persepsi macama macam dari poemilik Mall mall bahwa Karyawan karyawatrinya harus cantik cantik, suapaya menarik pembeli, sementara naka anak Papua dipandang tidak masuk katagori” Cantik” ini, tak heran bila musisi dan penyanyi Frangky Sahilatua( Alm) yang kemudian mengarang lagu” Aku Papua”. Kesan salah yang telah digambarkan diatas, itulah yang tampaknya melatarberlakangi pendapat Jakarta tentang masalah papua, terutama dalam persetujuannya atas Undang Undang No. 21 tentang Otsus, ungkapnya.
Melihat hal ini dalam menterjemahkan isi buku The Papuas WAY, dari sudut pandang yang keliru itu boleh dikatakan OTSUS mencapai kemajuannya yang penting di Papua. Hal ini nampak dari roda perekonomian Papua diera Otsus berputar cepat dan kencang, sebagai indikator yang kasat mata, banyak pusat pusat perbelanjaan Mall mall dibangun di papua, banyak jenis kendaraan seliweran dijalan jalan, uang milyaran rupiah dikucurkan ke Kampung kampung yang tujuannya untuk bangun masyarakat dikampung melalui program Respek, imbasnya pada dunia keagamaan juga, banyak gedung gedung ibadah yang megah dibangun hingga pelosok Papua yang dibarengi dengan tingkat kesejahteraan yang makin membaik, namun demikian apakah rakyat Puas? Katanya bertanya
Pencapaian demikian bukan yang diharapkan dan bukanlah yang terutama, mwelainkan orang Papua minta merdeka, persoalan Politik Papua yang belum terselesaikan hingga tuntas, menurut saya itulah akar persoalan papua sesungguhnya, ungkap Mawene.
Solusinya, dalam buku The Papua Way is the way in history, ungkapnya. Ia menilai Buku karya Anthonius Ayorbaba ini berakhir dengan usulan solusi untuk mencari jalan keluar dari tengah jalan Papua yang berliuku liku dan penuh hambatan, dimana penulis mengusulkan tiga solusi utama dihalaman 278- 284 dan empat solusi minimal( 284- 288), dimana solusi solusi itu bewrtujuan agar Otsus papua sebagai The Papua Way itu berhasil capai tujuannya.
Komentar lain atas buku the papua Way datangnya dari Direktur ICS, Budi Setyanto dalam paparannya saat bedah buku karya Anthonius Ayorbaba yang diawali dengan sebuah pertanyaan, bisakah Konflik di Papua diselesaikan?
Dalam presentasinya ia menyatakan, Bahwa konflik di Papua adalah konflik yang bersifat politis dan struktural (masyarakat Asli Papua versus Negara Indonesia). Akar masalah atau penyebab konflik adalah terkait proses integrasi wilayah Papua ke Indonesia yang tidak/belum diterima oleh Masyarakat Asli Papua. Karena akar masalah konflik adalah masalah politik menyangkut integrasi wilayah maka konflik ini juga menjadi konflik idiologi yang bersifat laten dan dapat menjadi konflik manifest jika ada pemicunya (trigernya).
Terkait dengan masalah-masalah lainya yang terjadi di Papua seperti adanya kebijakan pembangunan yang sentralistis/diskriminatif; kebijakan militer yang represif; kebijakan ekonomi yang eksploitatif dan adanya kebijakan otsus hanyalah sebagai imbas dan adanya konflik dimaksud. Konflik politik struktural seperti ini sulit diselesaikan dan hanya bisa diselesaikan jika salah satu pihak mencapai tujuannya dan/atau kedua belah pihak mencapai kompromi dengan meninggalkan atau mengurangi tujuan yang bersifat idiologis.
Konskwensi adanya konflik politik bersifat struktural ini jika tidak terselesaikan akan memakan korban yang berkelanjutan pada saat konflik laten menjadi konflik manifest Pertanyaanya lanjut Budi : apakah ada niat yang tulus dari Masyarakat Asli Papua dan Pemerintah Indonesia mengakhiri konflik dengan kompromi, ataukah masing-masing pihak lebih senang dengan kondisi pembiaran seperti sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar