Minggu, 19 Februari 2012

Critical Legal Studies sebagai Alternatif

Pasca kejatuhan soeharto, hukum selalu menjadi isu hangat yang selalu diperbincangkan di hampir semua kalangan masyarakat negeri ini. Pembicaraan antara lain mengarah pada sejumlah tuduhan, seperti hukum dianggap sebagai penyebab kebobrokan sistem penyelenggaraan negara dan lambatnya penanganan persoalan sosial. Mulai dari menjangkitnya penyakit korupsi di semua lini birokrasi dan sendi-sendi kehidupan bangsa, kasus mafia peradilan yang tumbuh di tiap tingkatan lembaga peradilan, respons kebijakan terhadap bencana alam yang lambat sampai upaya merampok tanah-tanah rakyat dengan menggunakan ijin administrasi dari hukum negara. Disana muncul pertanyaan besar, apakah persoalan yang demikian ruwet ini hanya merupakan akibat perilaku oknum di lapangan semata atau sistem hukum yang kita anut, mulai dari model pendidikan hukum sampai mental dan perilaku aparat penegak hukum. Persoalan korupsi dan mafia peradilan, sejak jaman revolusi, jaman otoritarianisme Suharto, sampai jaman privatisasi, menjadi masalah keseharian penegakan hukum di negeri ini.
Korupsi dan sogok-menyogok dalam lingkungan peradilan, sudah dianggap sebagai hal yang biasa dan telah membudaya. Ada kecenderungan perilaku yang hampir sistemik untuk menegaskan lelucon lama kritik terhadap formalisme, bahwa membawa perkara ke aparat penegak hukum juga siap dengan resiko membungakan perkara. Lapor kehilangan kambing, maka akan kehilangan sapi. Kehilangan meja maka akan menggadaikan rumah.
Buntunya hukum dalam menyelesaian persoalan-persoalan hukum menghadirkan pikiran menggugat atas sistem hukum yang dibingkai oleh semangat Langdelian dan Kelsenian. Langdel seorang dekan fakultas hukum Harvard, pada akhir tahun 1800-an mencetuskan konsep matematika hukum. Menurut Langdel, hukum hampir persis seperti ilmu eksata dimana upaya pemecahan persoalan-persoalan hukum hanya bisa ditemukan dalam laboratorium di perpustakaan. Mahasiswa hukum harus membaca pasal dan konsep perundang-undangan maka jawaban atas persoalan hukum akan ditemukan disitu. Karena itu, urusan kepekaan sosial, politik dan perkembangan peradaban bukan merupakan persoalan hukum. Hukum adalah preskripsi terbatas berdasarkan kerangka legal atau perundang-undangan. Pikiran ini diteruskan oleh Kelsen yang mencetuskan konsep hukum murni. Menurut Kelsen hukum selalu terpisah dari faktor-faktor sosial-politik, tidak saling interkoneksi tetapi terlepas satu sama lain. Hukum murni Kelsenian mengatakan bahwa keadilan menurut hukum berbeda dari keadilan menurut konsepsi sosial. Adil menurut hukum adalah jika sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangannya. Seorang aparat penegak hukum dikatakan telah bertindak adil, apabila tindakan atau keputusan yang diambilnya telah didasarkan atas peraturan perundang-undangan, meskipun keputusan itu luput dari pertimbangan kemanusian dan spiritualitas. Pemikiran ini telah diajarkan secara dogmatis terhadap penegak hukum sejak mereka dibangku kuliah. Mahasiswa, misalnya, lebih banyak diajarkan bagaimana mengotak-atik suatu pasal undang-undang untuk dijadikan dasar yang memenangkan perkara.
Dalam masyarakat sendiri, mahasiswa hukum dikenal sebagai lulusan yang harus mempunyai kemampuan teknis peradilan, seperti kepengacaraan dan kehakiman. Mereka dianggap profesional di bidang teknis, daripada menjadi produsen yang mencipta hukum secara kreatif sesuai dengan kebutuhan keadilan masyarakat. Anggapan ini ada benarnya kalau kita melihat teks kurikulum pendidikan hukum yang didominasi oleh materi dogmatik hukum. Ilmu hukum dogmatik itu dibonsai menjadi jenis pengetahuan yang mempunyai obyek kajian kasus tertentu dan diselesaikan secara ringkas dengan sekian pasal dalam teks hukum positif. Penafsiran atasnya berjalan secara pragmatik atau fungsional demi memecahkan kasus belaka. Sehingga hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana dan semacamnya hanya membentuk individu yang pandai menghapal pasal-pasal di luar kepala. Tidak perlu membaca aturan hukum lagi karena setiap saat peserta didik telah dilatih untuk memecahkan problematika hukum dengan satu atau dua jalan pemutarbalikan pasal-pasal “kunci”. Itulah penerapan sesungguhnya matematika hukum ala Langdelian.
Hal semacam ini kemudian menjadi semacam diktat hukum untuk menghadapi realitas yang sesungguhnya. Namun, buntunya hukum dalam menjawab persoalan-persoalan sosial di tengah masyarakat melahirkan banyak pertanyaan, sinisme dan kekecewaan. Kritik atas cara pikir positivisme hukum modern ala Kelsen, Langdel, Jhering, dan sejumlah pemikir lainnya menguat dari masa ke masa. Salah satunya adalah sebuah aliran yang disebut dengan critical legal studies. Roberto M. Unger, salah satu tokoh aliran ini, dan kawan-kawan (Abel, Heller, Horwitz, Kennedy, Macaulay, Rosenblatt, Trubek, Tushnet), berusaha mati-matian mengritik formalisme dan obyektivisme warisan rezim positivisme. Konsep ini dimaksudkan untuk mengatasi jalan buntu antara studi teoritik dan masalah pelik ekonomi politik yang menelikung dunia hukum. Selain itu, konsep critical legal studies juga telah memikirkan bagaimana bila realitas hukum itu diwarnai bentrokan antara hukum positif dengan nalar sekulernya dengan sejumlah tuntutan etis berpedoman nilai-nilai sosial sebuah komunitas seperti tuntutan kesucian atas nama hukum agama –Persoalan yang akhir-akhir ini marak, lihat kasus RUU APP dan munculnya Perda-Perda Syariat Islam-.
Oleh karena itu, gerakan critical legal studies yang mencoba meneruskan ajaran neo-marxian, Structuralist Marxist, Post Structuralism dan madzhab Frankfrut, meskipun pada dasarnya berbeda, adalah dirasa sangat penting untuk dikenalkan pada mahasiswa hukum sekarang ini. Tujuannya adalah untuk melahirkan ahli hukum yang lebih berprinsip dan berpegang teguh pada realitas sosial kemasyarakatan, serta suara hati nurani, dalam melakukan suatu tindakan hukum, dan dalam pengambilan suatu putusan hukum.
Pemikiran alternative system hukum mesti diperkenalkan, bahwa sebenarnya tidak hanya pemikiran positivisme-dogmatik yang berperan dalam penegakkan hukum. Akan tetapi ada sisi-sisi yang lain, yakni sistem hukum yang progresif (critical legal studies) dengan berbagai konsep yang ditawarkannya. Kedepan, diharapkan akan tumbuh satu kesadaran kritis tentang seluk beluk dunia hukum ditinjau dari segala aspek yang membentuknya (sosial, politik, ekonomi, budaya, dll). Kesemuanya merupakan elemen dasar terbentuknya satu aturan hukum yang selanjutnya dipakai sebagai alat untuk mencapai keadilan. Pada giliran berikutnya, dengan membuminya gerakan ini, hukum di negeri ini akan benar-benar merupakan cerminan dari realitas masyarakat Indonesia. Begitu juga dengan aparat hukumnya, mereka akan menjadi macan keadilan yang benar-benar memperjuangkan keadilan –ta’addul- berdasar nurani manusia. Bukan sekedar menjadi kepanjangan tangan peraturan perundang-undangan, modal dan kekuasaan di atasnya. Hukum menjadi kekuatan bagi kaum-kaum mustad’afien, dalam melawan kekuatan neoliberal dengan privatisasi dan riak-riak globalisasinya.(wmnapdkma)
Advertisement

0 komentar:

free counters

About This Blog

Pengikut

Translate


  © Blogger templates Psi by Anginselatan.com 2008

Back to TOP