Critical Legal Studies sebagai Alternatif
Pasca
kejatuhan soeharto, hukum selalu menjadi isu hangat yang selalu
diperbincangkan di hampir semua kalangan masyarakat negeri ini.
Pembicaraan antara lain mengarah pada sejumlah tuduhan, seperti hukum
dianggap sebagai penyebab kebobrokan sistem penyelenggaraan negara dan
lambatnya penanganan persoalan sosial. Mulai dari menjangkitnya penyakit
korupsi di semua lini birokrasi dan sendi-sendi kehidupan bangsa, kasus
mafia peradilan yang tumbuh di tiap tingkatan lembaga peradilan,
respons kebijakan terhadap bencana alam yang lambat sampai upaya
merampok tanah-tanah rakyat dengan menggunakan ijin administrasi dari
hukum negara. Disana muncul pertanyaan besar, apakah persoalan yang
demikian ruwet ini hanya merupakan akibat perilaku oknum di lapangan
semata atau sistem hukum yang kita anut, mulai dari model pendidikan
hukum sampai mental dan perilaku aparat penegak hukum. Persoalan korupsi
dan mafia peradilan, sejak jaman revolusi, jaman otoritarianisme
Suharto, sampai jaman privatisasi, menjadi masalah keseharian penegakan
hukum di negeri ini.
Korupsi
dan sogok-menyogok dalam lingkungan peradilan, sudah dianggap sebagai
hal yang biasa dan telah membudaya. Ada kecenderungan perilaku yang
hampir sistemik untuk menegaskan lelucon lama kritik terhadap
formalisme, bahwa membawa perkara ke aparat penegak hukum juga siap
dengan resiko membungakan perkara. Lapor kehilangan kambing, maka akan
kehilangan sapi. Kehilangan meja maka akan menggadaikan rumah.
Buntunya
hukum dalam menyelesaian persoalan-persoalan hukum menghadirkan pikiran
menggugat atas sistem hukum yang dibingkai oleh semangat Langdelian dan
Kelsenian. Langdel seorang dekan fakultas hukum Harvard, pada akhir
tahun 1800-an mencetuskan konsep matematika hukum. Menurut Langdel,
hukum hampir persis seperti ilmu eksata dimana upaya pemecahan
persoalan-persoalan hukum hanya bisa ditemukan dalam laboratorium di
perpustakaan. Mahasiswa hukum harus membaca pasal dan konsep
perundang-undangan maka jawaban atas persoalan hukum akan ditemukan
disitu. Karena itu, urusan kepekaan sosial, politik dan perkembangan
peradaban bukan merupakan persoalan hukum. Hukum adalah preskripsi
terbatas berdasarkan kerangka legal atau perundang-undangan. Pikiran ini
diteruskan oleh Kelsen yang mencetuskan konsep hukum murni. Menurut
Kelsen hukum selalu terpisah dari faktor-faktor sosial-politik, tidak
saling interkoneksi tetapi terlepas satu sama lain. Hukum murni
Kelsenian mengatakan bahwa keadilan menurut hukum berbeda dari keadilan
menurut konsepsi sosial. Adil menurut hukum adalah jika sudah sesuai
dengan peraturan perundang-undangannya. Seorang aparat penegak hukum
dikatakan telah bertindak adil, apabila tindakan atau keputusan yang
diambilnya telah didasarkan atas peraturan perundang-undangan, meskipun
keputusan itu luput dari pertimbangan kemanusian dan spiritualitas.
Pemikiran ini telah diajarkan secara dogmatis terhadap penegak hukum
sejak mereka dibangku kuliah. Mahasiswa, misalnya, lebih banyak
diajarkan bagaimana mengotak-atik suatu pasal undang-undang untuk
dijadikan dasar yang memenangkan perkara.
Dalam
masyarakat sendiri, mahasiswa hukum dikenal sebagai lulusan yang harus
mempunyai kemampuan teknis peradilan, seperti kepengacaraan dan
kehakiman. Mereka dianggap profesional di bidang teknis, daripada
menjadi produsen yang mencipta hukum secara kreatif sesuai dengan
kebutuhan keadilan masyarakat. Anggapan ini ada benarnya kalau kita
melihat teks kurikulum pendidikan hukum yang didominasi oleh materi
dogmatik hukum. Ilmu hukum dogmatik itu dibonsai menjadi jenis
pengetahuan yang mempunyai obyek kajian kasus tertentu dan diselesaikan
secara ringkas dengan sekian pasal dalam teks hukum positif. Penafsiran
atasnya berjalan secara pragmatik atau fungsional demi memecahkan kasus
belaka. Sehingga hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana dan
semacamnya hanya membentuk individu yang pandai menghapal pasal-pasal di
luar kepala. Tidak perlu membaca aturan hukum lagi karena setiap saat
peserta didik telah dilatih untuk memecahkan problematika hukum dengan
satu atau dua jalan pemutarbalikan pasal-pasal “kunci”. Itulah penerapan
sesungguhnya matematika hukum ala Langdelian.
Hal
semacam ini kemudian menjadi semacam diktat hukum untuk menghadapi
realitas yang sesungguhnya. Namun, buntunya hukum dalam menjawab
persoalan-persoalan sosial di tengah masyarakat melahirkan banyak
pertanyaan, sinisme dan kekecewaan. Kritik atas cara pikir positivisme
hukum modern ala Kelsen, Langdel, Jhering, dan sejumlah pemikir lainnya
menguat dari masa ke masa. Salah satunya adalah sebuah aliran yang
disebut dengan critical legal studies. Roberto M. Unger, salah
satu tokoh aliran ini, dan kawan-kawan (Abel, Heller, Horwitz, Kennedy,
Macaulay, Rosenblatt, Trubek, Tushnet), berusaha mati-matian mengritik
formalisme dan obyektivisme warisan rezim positivisme. Konsep ini
dimaksudkan untuk mengatasi jalan buntu antara studi teoritik dan
masalah pelik ekonomi politik yang menelikung dunia hukum. Selain itu,
konsep critical legal studies juga telah memikirkan bagaimana
bila realitas hukum itu diwarnai bentrokan antara hukum positif dengan
nalar sekulernya dengan sejumlah tuntutan etis berpedoman nilai-nilai
sosial sebuah komunitas seperti tuntutan kesucian atas nama hukum agama
–Persoalan yang akhir-akhir ini marak, lihat kasus RUU APP dan munculnya
Perda-Perda Syariat Islam-.
Oleh karena itu, gerakan critical legal studies yang mencoba meneruskan ajaran neo-marxian, Structuralist Marxist, Post Structuralism
dan madzhab Frankfrut, meskipun pada dasarnya berbeda, adalah dirasa
sangat penting untuk dikenalkan pada mahasiswa hukum sekarang ini.
Tujuannya adalah untuk melahirkan ahli hukum yang lebih berprinsip dan
berpegang teguh pada realitas sosial kemasyarakatan, serta suara hati
nurani, dalam melakukan suatu tindakan hukum, dan dalam pengambilan
suatu putusan hukum.
Pemikiran alternative system hukum mesti diperkenalkan,
bahwa sebenarnya tidak hanya pemikiran positivisme-dogmatik yang
berperan dalam penegakkan hukum. Akan tetapi ada sisi-sisi yang lain,
yakni sistem hukum yang progresif (critical legal studies)
dengan berbagai konsep yang ditawarkannya. Kedepan, diharapkan akan
tumbuh satu kesadaran kritis tentang seluk beluk dunia hukum ditinjau
dari segala aspek yang membentuknya (sosial, politik, ekonomi, budaya,
dll). Kesemuanya merupakan elemen dasar terbentuknya satu aturan hukum
yang selanjutnya dipakai sebagai alat untuk mencapai keadilan. Pada
giliran berikutnya, dengan membuminya gerakan ini, hukum di negeri ini
akan benar-benar merupakan cerminan dari realitas masyarakat Indonesia.
Begitu juga dengan aparat hukumnya, mereka akan menjadi macan keadilan
yang benar-benar memperjuangkan keadilan –ta’addul- berdasar
nurani manusia. Bukan sekedar menjadi kepanjangan tangan peraturan
perundang-undangan, modal dan kekuasaan di atasnya. Hukum menjadi
kekuatan bagi kaum-kaum mustad’afien, dalam melawan kekuatan neoliberal dengan privatisasi dan riak-riak globalisasinya.(wmnapdkma)
Advertisement
0 komentar:
Posting Komentar